Minggu, 20 Maret 2011

Penyalahgunaan Narkoba

BAB I

                       PENDAHULUAN


  1. Latar Belakang Masalah
Penyalahgunaan Napza di Indonesia semakin hari semakin memprihatinkan. Dari data-data yang diperoleh dari Kepolisian menunjukkan peningkatan baik kualitas dan kuantitasnya yang cukup signifikan tiap tahunnya. Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) angka resmi penyalahgunaan Napza adalah 3,2 juta orang dari 220 juta penduduk Indonesia.Menghadapi fenomena ini pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai tindakan pencegahan agar dapat menyelamatkan generasi bangsa dari cengkeraman napza.
Napza telah menimbulkan banyak korban, terutama kalangan muda yang termasuk usia produktif. Masalah ini bukan hanya berdampak negatif terhadap  diri pengguna, tetapi lebih luas lagi berdampak negatif terhadap kehidupan keluarga dan masyarakat, bahkan mengancam dan membahayakan keamanan, ketertiban.Besarnya masalah akibat penyalahgunaan napza ini, tentu saja perlu mendapat penanganan yang serius dari semua pihak. Masalah pemulihan penyalahgunaan napza bukanlah hal yang mudah, melainkan merupakan suatu proses perjuangan panjang yang memerlukan strategi dan pelaksanaan secara tepat dan terarah.
  1. Tujuan
Makalah ini bertujuan agar para mahasiswa dapat mengetahui memahami lebih dalam lagi tentang masalah sosial sebagai hambatan peningkatan kesejahteraan yang berupa kasus penyalahgunaan obat dan upaya pemecahannya. Serta agar kita dapat mengetahui latar belakang penyalahgunaan obat-obatan, faktor-faktor penyebab penyalahgunaan obat-obatan, serta berupaya mencari pemecahan dari kasus penyalahgunaan obat-obatan. Dan bertujuan untuk mencegah meningkatnya peredaran dan penyalahgunaan narkoba dikalangan remaja khususnya dan masyarakat umumnya. Disamping itu juga untuk meningkatkan kepedulian sosial baik, keluarga, sekolah, masyarakat, ornop, maupun aparat penegak hukum dan instansi terkait dalam rangka turut serta mengantisipasi pertumbuhan peredaran dan penyalahgunaan narkoba, sehingga dapat menciptakan wilayah Kalianda dan sekitarnya bebas narkoba.
Untuk mengingatkan dan memberi informasi yang selengkap mungkin mengenai bahaya dari penyalahgunaan narkoba dan obat-obatan terlarang sedini mungkin. Kampanye ini bukan untuk mengobati, melainkan untuk mencegah,sehingga diharapkan dapat mencegah dan mengurangi jumlah korban yang diakibatkan oleh penyalahgunaan narkoba.
  1. Sasaran
Sasarannya adalah para siswa, guru, anggota masyarakat, dan tokoh agama,yang diharapkan dapat berpartisipasi dalam upaya penanggulangan peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Dan kita sebagai mahasiswa sudah seharusnya ikut berperan aktif membantu pemerintah dalam upaya pemecahan masalah social yang terjadi di negara kita salah satunya berupa kasus Penyalahgunaan Obat-obatan yang hingga dewasa ini belum ada pemecahan yang tepat dalam kasus ini..



BAB II
PERMASALAHAN

A.    Intesitas dan Kompleksitas Masalah
Dalam bahasa Inggris, kata obat dibedakan dengan dua kata, yakni “medicine” dan “drug”. Medicine khususnya ditujukan pada obat yang dikonsumsi untuk pengobatan ataupun pencegahan penyakit. Sedangkan drug ditujukan pada obat secara umum. Webster’s New World College Dictionary mendifinisikan drug sebagai “zat apapun (termasuk zat kimia) yang digunakan sebagai obat (medicine) atau sebagai ramuan dalam obat yang membunuh kuman-kuman atau yang mempengaruhi segala fungsi organ tubuh” (Simon & Schuster, 1996:417). Jadi dapat dikatakan bahwa drug mencakup medicine (obat untuk kesehatan) dan juga obat-obatan terlarang.
Istilah obat-obat terlarang atau lebih populer “narkoba” muncul karena adanya penyalahgunaan obat-obatan yang tidak semestinya, termasuk di sini penyalahgunaan beberapa jenis obat yang disebut medicine. Obat-obatan generik atau pun yang termasuk golongan “daftar G” (obat keras) bila di minum tanpa mengikuti anjuran bisa juga dikatakan sebagai tindakan penyalahgunaan.
Ilmu kedokteran mengklasifikasikan sumber obat dari 4 sumber, yakni: zat kimia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan mineral (The World Book Encyclopedia, 1976: 288b). Inilah semua sumber utama dari segala jenis obat, baik untuk jenis obat bagi kesehatan, maupun jenis obat terlarang. Di dalam Alkitab, kita menemukan salah satu contoh sumber obat dari tumbuh-tumbuhan, yakni “anggur” (1 Timotius 5:23), “minyak” (Yakobus 5:14).
Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain "narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif.
Semua istilah ini, baik "narkoba" atau napza, mengacu pada sekelompok zat yang umumnya mempunyai risiko kecanduan bagi penggunanya. Menurut pakar kesehatan narkoba sebenarnya adalah psikotropika yang biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak dioparasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu. Namun kini presepsi itu disalah gunakan akibat pemakaian yang telah diluar batas dosis. Obat tersebut awalnya digunakan untuk medis yang tujuannya sebagai obat penenang dan penawar rasa sakit. Produk narkoba seperti opium, heroin, morfin dan macam-macam produk minuman yang mengandung alcohol merupakan produk yang digunakan secara medis untuk pengobatan gangguan mental dan gangguan emosional. Namun realisasinya, narkoba digunakan dalam kalangan remaja yang bertujuan hanya untuk kesenangan sepintas, trend, agar disebut gaul, dan biar dibilang funky.
NAZA (Narkotika, Alkohol,dan Zat Adiktif lainya) atau NARKOBA (Narkotika, Psikotropika, dan bahan bahaya lainnya), obat terlarang itu juga mencakup psikotropika, alkohol, tembakau, dan zat adiktif dan yang memabukkan lainnya. Obat-obat ini apabila digunakan secara tidak benar akan menyebabkan perubahan pikiran,perasaaan, dan tingkah laku pemakainya serta menyebabkan gangguan fisik dan psikis dan kerusakkan susunan saraf pusat bahkan sampai menyebabkan kematian. Secara farmakologik, obat-obatan ini dapat menyebabkan terjadinya toleransi, depedensi atau ketergantungan berupa adiksi dan habituasi, intoksikasidan gejala putus obat (withdrawal syndrome).
NAPZA atau DRUGS didefinisikan sebagai zat-zat yang mempengaruhi jiwa dan tidak digunakan sebagai pengobatan. Sejak tahun 1969, kecenderungan pemakaian drugs semakin bervariasi akibat ditemukannya jenis-jenis drugs baru antara lain: ganja, morfin, kokain, psikotropika, heroin (putaw), ectasy, dan shabu-shabu (amfetamin).
Golongan NAPZA (DRUGS)
1. Anti Psikosis (major tranquilizer, neuroleptik)
2. Anti Anxietas (minor tranquilizer psycholeptic)
3. Anti depresan (thymoleptika, pshychic energizeer)
4. Anti Mania (mood modulary, mood stabilizer)
5. Psikotogenik
Yang paling sering digunakan adalah golongan Psikotogenik dengan efek kan: gangguan/kelainan tingkah laku, halusinasi, ilusi, gangguan cara berfikir, perubahan alam perasaan, dan lama-kelamaan menjadi psikosis (gila). Contoh obat yang sering digunakan antara lain: heroin (putaw), morfin, ganja, shabu-shabu.
Penggunaan zat terlarang diantara para remaja terjadi pada kisaran dari coba-coba hingga ketergantungan. Cakupan konskwensi dari tidak ada sampai mengancam nyawa, tergantung kepada zat-zat terlarang tersebut, keadaan, dan frekwensi pada penggunaannya. Meskipun begitu, bahkan penggunaan yang tidak rutin bisa menghasilkan bahaya yang berarti, seperti kelebihan dosis, kecelakaan kendaraan bermotor, dan kehamilan yang tidak diinginkan. Meskipun percobaan dan pemakaian yang tidak rutin sering terjadi, ketergantungan obat tetap mengancam.
Dalam bidang hukum juga sudah dikeluarkan dua undang-undang, yaitu: UU Narkotika No. 22 Tahun 1997 dan UU Psikotropika No. 5 Tahun 1997. Dalam undang-undang tersebut, narkotika dibedakan menjadi 3 golongan, masing-masing:
1.      Narkotika golongan I (tidak digunakan untuk tujuan medis, seperti morfin,
heroin, kokain dan kanabis).
2.      Narkotika golongan II (digunakan untuk terapi
sebagai pilihan akhir karena adanya efek ketergantungan yang kuat, seperti
petidin, metadon).
3.      Narkotika golongan III (digunakan untuk terapi karena
efek ketergantungannya kecil, seperi kodein, doveri).
Sedangkan dalam UU Psikotropika didefinisikan sebagai zat atau obat
bukan narkotik tetapi berkhasiat psikoaktif berupa perubahan aktivitas
mental/tingkah laku melalui pengaruhnya pada susunan saraf pusat serta
dapat menyebabkan efek ketergantungan.
Psikotropika dibedakan menjadi 4 golongan, yaitu:
1.      Psikotropika yang tidak digunakan untuk tujuan pengobatan dengan
potensi ketergantungan yang sangat kuat, contoh: LSD, MDMA dan mascalin.
2.      Psikotropika yang berkhasiat terapi tetapi dapat menimbulkan ketergantungan seperti amfetamin.
3.      Psikotropika dari kelompok hipnotik sedatif, seperti barbiturat.
Efek ketergantungannya sedang.
4.      Psikotropika yang efek ketergantungannya ringan, seperti diazepam,
nitrazepam.

Bahaya Penggunaan Obat Terlarang.

Bahaya penggunaan obat terlarang ini dapat dibedakan menjadi bahaya
dari segi hukum dan bahaya dari segi kesehatan. Seperti diketahui dari
UU Narkotika dan UU Psikotropika maka semua orang yang terlibat dapat dikenai sanksi berupa hukuman penjara, denda, bahkan sampai hukuman mati. Mereka yang dapat dijerat hukum melalui undang-undang tersebut mencakup produsen, penyalur dan pemakai dengan gradasi (tingkatan) hukuman dan denda yang bervariasi. Bahkan orang-orang yang mempersulit penyelidikan pun dapat dijerat hukum. Denda maksimal yang tercantum dalam undang-undang tersebut adalah sebesar Rp750 juta, sedangkan hukuman maksimalnya adalah mati.
Bahaya dari segi kesehatan sangat berbeda, tergantung dari jenis
obat yang digunakan. Yang pasti semua obat terlarang itu menyebabkan adiksi
dan gejala putus obat apabila dihentikan pemakaiannya. Adiksi yang ditimbulkan menyebabkan si pemakai menjadi ketagihan dan membutuhkan obat tersebut terus-menerus. Ketergantungan ini mengganggu fisik dan psikisnya.
Intoksikasi timbul akibat dosis yang dipakai berlebihan sehingga
terjadi keracunan. Intoksikasi ini umumnya menyebabkan kematian. Gejala
putus obat (withdrawal syndrome) adalah, gejala-gejala yang timbul akibat
dihentikannya pemakaian obat terlarang tersebut. Dalam keadaan ini maka
fungsi normal tubuhnya menjadi terganggu seperti, berkeringat, nyeri seluruh
tubuh, demam, mual sampai muntah.
Gejala ini akan menghilang kalau diberikan lagi obat terlarang itu. Semakin lama gejala ini akan semakin hebat. Secara farmakologik, maka efek yang ditimbulkan oleh obat terlarang itu dapat dikelompokkan menjadi depresan, stimulan, dan halusinogen.
Dalam kelompok depresan, maka obat terlarang ini akan menyebabkan
depresi (menekan) aktivitas susunan saraf pusat. Pemakai akan menjadi tenang
pada awalnya, kemudian apatis, mengantuk dan tidak sadar diri. Semua gerak
refleks menurun, mata menjadi sayu, daya penilaian menurun, gangguan terhadap sistem kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah). Termasuk kelompok depresanini ialah opioid seperti heroin, morfin dan turunannya, sedativa seperti barbiturat dan diazepam, nitrazepam dan turunannya.
Kelompok stimulan merupakan obat terlarang yang dapat merangsang
fungsi tubuh. Pada awalnya pemakai akan merasa segar, penuh percaya diri,
kemudian berlanjut menjadi susah tidur, perilaku hiperaktif, agresif, denyut
jantung jadi cepat, dan mudah tersinggung. Termasuk dalam kelompok ini
contohnya adalah kokain, amfetamin, ekstasi, dan kafein.
Kelompok halusinogen merupakan kelompok obat yang menyebabkan adanya penyimpangan persepsi termasuk halusinasi seperti mendengar suara atau melihat sesuatu tanpa ada rangsang. Persepsi ini menjadi "aneh". Termasuk dalam kelompok ini contohnya ialah LSD, meskalin, mariyunana/ganja. Pemakai menjadi curiga berlebihan, mata menjadi merah dan agresif serta disorientasi.
Berikut contoh-contoh reaksi khas pada kasus penyalahgunaan zat aktif dan terapinya:
1.      Alkohol. Gambaran klinis keadaan mentalnya adalah agresif, tingkah laku yang melawan, gangguan kejiwaan, mengantuk dan berbicara terputus-putus. Terapinya dengan menggunakan perawatan penunjang dan memperbaiki kelainan metabolisme (hipoglikemia, asidosis).
2.      Antikolinergik, atropin, beladona, benzotropin dan sekelasnya. Adapun gambaran klinisnya adalah amnesia, citra diri yang berubah, sensori yang berkabut, koma, kekacauan, konvulsi, disorientasi, mengantuk, kegelisahan, tingkah laku yg kasar dan halusinasi visual. Terapinya dengan perawatan penunjang, fisostigminyang harus disediakan dalam keadaan yang membahayakan jiwa misalnya koma, depresi nafas, hipertensi hebat, dan kejang yang tidak terkontrol.
3.      Kelompok Kanabis : mariyuana, kashish, THC, minyak hash, sinsemilla, mempunyai gambaran klinis cemas, anoreksia kemudian mengalami peningkatan nafsu makan, kekacauan depersonalisasi, seperti mimpi, berkhayal, gembira yang berlebihan, halusinasi, panik, paranoid, distorsi penggal waktu. Terapinya tdk ada yang khusus dianjurkan kecuali dengan menggunakan diazepam pada kasus kecemasan yang hebat.
4.      Obat Penekan CNS ( Sistem Syaraf Pusat  seperti barbiturat dll).
Gambaran klinis sbb: koma, delirium, kekacauan, disorientasi, mengantuk, bicara terputus-putus, hipotensi, ataksia, konvulsi, hipotermia, depresi nafas, edema paru.
Terapinya dengan perawatan penunjang dan mantapkan jalan nafas, diureksa paksa, alkalinasi urin, hemodialisis, penunjang tekanan darah.
5.      Obat Perangsang CNS (Uppers) misal obat anti gemuk
Gambaran klinis sbb : menyerang, cemas, nafsu makan turun,kurang
tidur, delirium, halusinasi, impulsif, berkabut, gelisah, aritmia, pandangan kabur, koma dilatasi pupil, hipertensi,mulut kering, takikardia, tremor, stroke. Terapinya dengan haloperidol, diazepam dan pasien hrs diajak bicara
6.      Kokain. Gambaran klinis sbb : seperti pada obat,konsentrasi meningkat dan suasana menarik, aritmia, koma, konvulsi dll. Terapi dengan propanolol intravena untuk kasus keracunan jantung, halo peridol intramaskular 2-5 mg setiap 1-8 jam, diazepam intravena
untuk kejang dan selimut dingin untuk hipertermia.
7.      Halusinogen, DMT, LSD, MDMA dll. Gambaran klinis : cemas, kacau, konvulasi, panik distorsi waktu dan visual, dilatasi pupil, hiperrefleksi, hipertensi dll. Terapinya dengan perawatan penunjang dan konseling
psikologi di ruangan sepi, hindari obat-obat anti psikotik.
8.      Opioid, kodein, heroin, metadon dan sekelasnya.
gambaran klinis sbb : euforia dan stupor, koma dilatasi pupil, hipotensi,takikardia, kedutan otot, muntah, menguap. Terapinya: Nalokson melalui intravena atau intramuskkular
9.      Fensiklidin (PCP). Gambaran klinis sbb: amnesia, cemas,koma, konvulsi, impulsif, tingkah laku merusak diri sendiri, mutisme, psikosis, ataksia, pengeluaran liur, disaritmia, mioklonis, takikardia. Terapinya  hrs didukung konsep psikologi dan jangan mengajak pasien bicara. Biasanya
digunakan diazepam intravena.

Efek Samping Akibat Penyalahgunaan Drugs
1. Diri sendiri
a.       Depresi pernafasan, jika sampai overdosis bisa menyebabkan gagal nafas (apnoe) dan kematian
b.      Tekanan darah menurun (syok)
c.       Addiksi (ketagihan)
d.      Toleransi (peningkatan dosis)
e.       Tidak jarang terjadi efek paradoksal yaitu efek yang muncul berbeda dengan apa yang diinginkan. Misal yang terjadi adalah bayangan-bayangan menakutkan, mimpi buruk sepanjang hari, halusinasi, sikap agresif dan lain-lain.
f.       Penghentian obat secara mendadak bisa menimbulkan kesakitan yang hebat (withdrawal syndrome), pusing terus-menerus, muntah hebat kadang disertai muntah darah, sesak nafas dan kematian.
g.      Jika berhasil disembuhkan tetap akan meninggalkan gejala sisa (skuele) misalnya menjadi bodoh, idiot bahkan lumpuh.
h.      Dampak Langsung Narkoba Bagi Kejiwaan / Mental Manusia
1)      Menyebabkan depresi mental.
2)      Menyebabkan gangguan jiwa berat / psikotik.
3)      Menyebabkan bunuh diri
4)      Menyebabkan melakukan tindak kejehatan, kekerasan dan pengrusakan
2. Keluarga, Masyarakat dan Negara
a.       Menjadi beban keluarga, terutama bagi mereka yang mereka yang sudah terlanjur kecanduan.
b.      Menguras keuangan keluarga untuk mengobatkan. Dan biaya pengobatan ini tidak murah, sebab pasien harus menjalani perawatan isolasi selama berbulan-bulan.
c.       Merugikan negara dalam sumber daya manusia, apabila NAPZA tidak diperangi dikhawatirkan terjadinya Lost Generation (hilangnya generasi penerus bangsa).
d.      Akan banyak uang yang dibutuhkan untuk penyembuhan dan perawatan kesehatan pecandu jika tubuhnya rusak digerogoti zat beracun.
e.       Dikucilkan dalam masyarakat dan pergaulan orang baik-baik. Selain itu biasanya tukang candu narkoba akan bersikap anti sosial.
f.       Keluarga akan malu besar karena punya anggota keluarga yang memakai zat terlarang.
g.      Kesempatan belajar hilang dan mungkin dapat dikeluarkan dari sekolah atau perguruan tinggi alias DO / drop out.
h.      Tidak dipercaya lagi oleh orang lain karena umumnya pecandu narkoba akan gemar berbohong dan melakukan tindak kriminal.
i.        Dosa akan terus bertambah karena lupa akan kewajiban Tuhan serta menjalani kehidupan yang dilarang oleh ajaran agamanya.
j.        Bisa dijebloskan ke dalam tembok derita / penjara yang sangat menyiksa lahir batin.
3. Dampak Langsung Narkoba Bagi Jasmani / Tubuh Manusia
a.       Gangguan pada jantung
b.      Gangguan pada hemoprosik
c.       Gangguan pada traktur urinarius
d.      Gangguan pada otak
e.       Gangguan pada tulang
f.       Gangguan pada pembuluh darah
g.      Gangguan pada endorin
h.      Gangguan pada kulit
i.        Gangguan pada sistem syaraf
j.        Gangguan pada paru-paru
k.      Gangguan pada sistem pencernaan
l.        Dapat terinfeksi penyakit menular berbahaya seperti HIV AIDS, Hepatitis, Herpes, TBC, dll.
m.    Dan banyak dampak lainnya yang merugikan badan manusia.

B.     Latar Belakang Masalah
Mungkin yang sering kita salah dalam menilai orang-orang yang terlibat obat-obat terlarang, tanpa mengetahui dengan jelas alasan-alasannya. Seringkali kita hanya memikirkan keterlibatan orang-orang dalam menggunakan obat-obat terlarang dilatar-belakangi oleh beberapa alasan.
1.            Ingin Mencobanya. Dari keinginan coba-coba inilah orang mulai terlibat dengan obat-obat terlarang. Karena sifatnya yang membuat kecanduan, maka si pengguna menjadi tergantung pada penggunaannya, sehingga hal ini menjadi kebiasaan baginya.
2.            Karena kurangnya perhatian keluarga. Penyalahgunaan obat-obat terlarang oleh sebagian orang karena kehidupan keluarga yang kurang kasih sayang dan perhatian. Yang banyak menjadi korban biasanya anak-anak atau kaum muda, sehingga perasaan tidak membahagiakan ini menuntun mereka pada hal-hal yang tidak diinginkan, termasuk penyalahgunaan obat-obat terlarang, juga alkohol.
3.            Fasilitas dan uang yang berlebihan. Bagi keluarga yang mampu kelihatannya standar kebahagiaan itu diukur dari kekayaan ataupun uang. Sehingga pikiran yang keliru ini mendorong banyak orang tua untuk memanjakan anak-anak mereka dengan memberi uang tanpa disertai aturan bagaimana menggunakan uang itu. Akibatnya situasi ini memberi kesempatan bagi si anak untuk berpikir sendiri dengan segala keterbatasannya bagaimana menggunakan uang itu, dan fakta yang sering terjadi adalah kebanyakan dari mereka menyalahgunakan uang untuk membeli barang-barang yang tidak berguna, termasuk obat-obat terlarang, juga judi, rokok, dan alkohol.
4.            Sebagai Suatu Pelarian. Sebuah pribahasa mengatakan “masalah adalah bagian dari hidup ini.” Depresi, sakit hati, kekecewaan, kesepian, dan sebagainya adalah masalah yang biasa dialami oleh setiap orang. Semua masalah ada jalan keluarnya. Namun yang sering salah dilakukan oleh sebagian orang, mencari solusi pada hal yang sebenarnya bukan sumber solusi, yakni mengkonsumsi obat-obat terlarang, dll. Mereka ingin lepas dari masalah hidup mereka dengan terlibat dalam kegiatan seperti itu. Inilah yang disebut pelarian.
5.            Pengaruh Sahabat. Prinsip kesetiakawanan dalam persahabatan begitu kental biasanya. Kadang-kadang sebagian orang tidak lagi mempertimbangkan untung-ruginya saat melakukan permintaan sahabat karib, apakah hal itu menjerumuskan atau yang lainnya. Banyak orang yang menjadi korban narkoba karena enggan menolak ajakan kawan. Mereka lebih takut kehilangan sahabat dari pada takut kehilangan hidup mereka. Itu adalah prinsip yang total salah!
6.            Sebagai Korban. Sebagian orang juga terlibat narkoba bukan karena keinginan mereka tetapi tertipu oleh pengguna narkoba lainnya. Mereka pertama kali tidak mengetahui jika mereka telah mengkonsumsi narkoba. Barulah ketahuan ketika mereka ketagihan dengan obat terlarang itu. Ini bisa terjadi karena kurang hati-hati bergaul dengan orang lain.
7.            Ingin menjadi populer dan diterima di tengah-tengah orang banyak.
Ini adalah tindakan yang terlalu berani mengambil resiko. Perasaan rendah diri dan perasaan kesepian atau terkucilkan bisa membawa seseorang kepada kegiatan penyalahgunaan narkoba. Hal ini dilakukannya agar mempunyai percaya diri sehingga bisa bergaul dan bisa diterima oleh banyak orang, dan bahkan sebagai moment untuk menjadi popular Alkohol (Minuman Keras)
Berbagai Motivasi Dalam Penyalahgunaan Obat Terlarang
¨      Motivasi dalam penyalahgunaan zat dan narkotika ternyata menyangkut motivasi yang berhubungan dengan keadaan individu (motivasi individual) yang mengenai aspek fisik, emosional, mental-intelektual dan interpersonal.
¨      Di samping adanya motivasi individu yang menimbulkan suatu tindakan penyalahgunaan zat, masih ada faktor lain yang mempunyai hubungan erat dengan kondisi penyalahgunaan zat yaitu faktor sosiokultural seperti di bawah ini; dan ini merupakan suasana hati menekan yang mendalam dalam diri remaja; antara lain:
1.      Perpecahan unit keluarga misalnya perceraian, keluarga yang berpindah-pindah, orang tua yang tidak ada/jarang di rumah dan sebagainya.
2.      Pengaruh media massa misalnya iklan mengenai obat-obatan dan zat.
3.      Perubahan teknologi yang cepat.
4.      Kaburnya nilai-nilai dan sistem agama serta mencairnya standar moral; (hal ini berarti perlu pembinaan Budi Pekerti – Akhlaq)
5.      Meningkatnya waktu menganggur.
6.      Ketidakseimbangan keadaan ekonomi misalnya kemiskinan, perbedaan ekonomi etno-rasial, kemewahan yang membosankan dan sebagainya.
7.      Menjadi manusia untuk orang lain.Adanya faktor-faktor sosial kultural seperti yang dikemukakan di atas akan mempengaruhi kehidupan manusia dan dapat menimbulkan motivasi tertentu untuk mamakai zat. Pengaruh ini akan terasa lebih jelas pada golongan usia remaja, karena ditinjau dari sudut perkembangan, remaja merupakan individu yang sangat peka terhadap berbagai pengaruh, baik dari dalam diri maupun dari luar dirinya atau lingkungan.
Berdasarkan pengaruh yang muncul akibat dari pengunaan narkoba, Pemaratana mengkasifikasikan menjadi tiga tipe pecandu narkoba. Tujuan dari mengklasifikasi pengaruh tersebut untuk usaha menangani dan penyediaan pendidikan yang harus dicanangkan oleh pemerintah, swasta, lembaga kesehatan, maupun semua pihak yang terkait. Klasifikasi dari tipe tersebut adalah:
1)      Pecandu utama
Golongan ini memiliki karakteristik kepribadian yang buruk, depresi dan gelisah. Motivasi yang dimiliki sangat mentah dan tidak memiliki tujuan yang dewasa.
2)      Pecandu Symptomatic
Karakteristik dari golongan ini lebih bersifat agresif, antisosial, dan menolak moral masyarakat. Golongan ini rentan dengan tindak kejahatan.
3)      Pecandu yang reaktif
Kelompok ini lebih didominan oleh anak remaja. Karateristik dari golongan ini lebih menonjolkan usaha untuk mendapatkan sambutan baik di kalangan remaja yang berkecenderungan pada narkoba. Usaha ini lebih mengacu pada pencarian identitas diri, gaya hidup remaja. Usaha mencari identitas diri tersebut dilakukan oleh remaja karena remaja merupakan masa transisi.Konkritnya remaja tidak dapat digolongkan pada tingkat anak-anak karena sudah beranjak dewasa. Tetapi belum termasuk pada kelompok dewasa karena emosionalnya masih labil.

C.     Penanganan Masalah Berbasis Masyarakat :
Sementara itu Kalakhar BNN Drs Nurfaizi MM mengatakan beberapa bentuk partisipasi masyarakat perlu dikembangkan dan ditingkatkan dalam upaya penanggulangan masalah Narkoba dimulai dari lingkungan masyaraakt terkecil, yaitu keluarga dengan menghindarkan diri dan keluarga terlibat atau memelihara diri dengan masalah narkoba.
Menumbuh-kembangkan kepedulian terhadap masalah narkoba ini melalui pemberian informasi kepada aparat di lapangan. Serta membangun kesamaan sikap diantara aparat penegak hukum unttuk bersikap tegas dan lugas terhadap para pelaku kejahatan narkoba serta menjatuhkan sanksi hukum yng seberat-beratnya, bila perlu dengan hukuman mati.
Menurut dia, melalu program tersebut untuk seluruh orangtua agar perlu peran aktif mengawasi putra-putrinya dari penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Sebab bila gejala ini, katanya, sudah merebak dapat meruntuhkan sendi-sendi kehiudpan berbangsa dan bernegara.
Bahkan belakangan ini penyalahgunaan obat-obatan terlarang kian transparan di berbagai lingkungan masyarakat, sehingga sangat meresahkan kehidupan bermasyarakat. Untuk itu, tukasnya, para generasi muda diminta untuk menjauhi dunia obat-obatan agar masa depan nanti dicapai dengan gemilang.
Terkait dengan kebijakan pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pre­siden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2007 menyebutkan setiap daerah provinsi, daerah kabupaten/kota wajib mem­bentuk Badan N arkotika Provinsi dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota yang secara kelembagaan dan strukturnya menjadi perangkat daerah dan dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Biaya Daerah (APBD).
Badan Narkotika Pro­vinsi dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota bertugas mengkoordinasikan perang­kat daerah dan instansi peme­rintah di provinsi, kabupaten/kota dalam hal penyusunan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan operasional Badan Narkotika Nasional (BNN) di bidang ketersediaan dan pencegahan,pemberantasan penyalahgunaan dan peredar­an gelap narkotika, psikotro­pika, prekursor dan bahan adiktif lainnya (P4GN).
Departemen Dalam Ne­geri, dalam hal ini Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik saat ini sedang merancang pedoman pence­gahan penyalahgunaan penanggulangan dan peredaran gelap narkoba atau obat terlarang. Kepala daerah, yaitu gubernur, bupati, dan wali­kota berkewajiban mengkoor­dinasikan penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang pencegahan penyalah­gunaan obat terlarang. Selain itu kepala daerah juga mengemban fungsi mengko­ordinasikan kegiatan instansi vertikal di provinsi dalam pencegahan penyalahgunaan obat terlarang.
Berdasarkan tugas dan fungsi yang diemban kepala daerah dalam hal pencegahan penyalahgunaan obat terlarang, Ditjen Kesbangpol sedang merancang pedoman penyusunan "Forum Pencegahan Penyalahgunaan Obat Terlarang" baik di provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, sampai di desa/kelurahan.
Forum Pencegahan Penya­lahgunaan Obat Terlarang bersifat konsultatif dan memiliki tugas menjaring aspirasi masyarakat di bidang pencegahan penyalahgunaan abat terlarang; menyeleng­garakan forum dialog dengan pimpinan organisasi, pemuka agama, pemuka masyarakat, menyelenggarakan sosialisasi kebijakan yang berkaitan dengan pencegahan penyalah­gunaan obat terlarang; serta merumuskan komendasi kepada kepala daerah sesuai dengan lingkupnya. (Tim Direktorat Pengembangan Nilai-nilai Kebangsaan)
Peran Negara Dalam Pemberantasan Penyalahgunaan Obat Terlarang NAPZA
1.      Melalui penyuluhan-penyuluhan
2.      Melalui pusat-pusat rehabilitasi pengguna
3.      Setiap pengedar, pemakai (pengguna), bahkan menyimpan NAPZA dikenai pasal dan dimasukkan dalam katagori kriminalitas.
D.    Upaya Penanganan Masalah
Solusi tepat adalah perlawanan dari diri sendiri untuk melawan keberadaan narkoba dan obat-obatan psikotropika ini. Penyalahgunaan narkoba hanya akan membuat hidup menderita, sekali mencoba pasti akan terjerumus lebih dalam lagi, belum lagi penderitaan yang harus dialami pada saat sakaw (menggigil karena ketagihan), apa lagi sampai OD over dosis yang bisa bikin koit.
Untuk berhenti memakai narkoba, yang penting ada kemauan yang besar dulu dari si pemakai. Untuk berhenti total secara langsung, bagi pengguna aktif biasanya akan sangat susah, butuh bantuan obat-obatan medis. Bila pemakai aktif (ketergantungan), cobalah berkonsultasi ke dokter atau ke pusat rehabilitasi. Tetapi kalau bukan pemakai aktif, bisa dengan cara:
a)      Cobalah untuk tidak memakainya lagi, jauhi dari lingkungan yang biasanya memakai atau menyediakan shabu-shabu itu.
b)      Kembalilah kedalam keluarga.
c)      Dekatkan diri ke pada Tuhan.
d)     Tambah aktivitas.
e)      Jaga pikiran untuk tidak memikirkan benda-benda itu lagi. Mungkin pada awalnya, merupakan hari-hari yang berat. Tapi cobalah bertahan dan kalau bisa ada seseorang yang mengawasi atau mengingatkan, orang ini sangat berguna disaat sangat membutuhkan benda itu lagi, dia akan dapat menahan agar jangan memakainya. Biasanya, pemakai narkoba ini ada alasannya, dari sekedar mencoba-coba sampai keperlarian dari suatu masalah. Jika punya masalah cobalah untuk mengatasinya. Karena memakai shabu-shabu bukanlah jalan keluar yang terbaik, malah akan membuat masalah menjadi rumit.
Berdasarkan Undang-undang Polri diberi tugas sebagai alat Negara penegak hukum, pelindung dan pelayan masyarakat beserta dengan komponen bangsa lainnya sangat berkewajiban dalam usaha pencegahan dan penanggulangan masalah penyalahgunaan Narkoba di Indonesia. Polri sebagai unsur terdepan dalam penanggulangan terhadap setiap ancaman penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba melakukan 4 (Empat) langkah upaya penanggulangan (Satgas Luhpen Narkoba Mabes Polri, 2001 : 23-25).
1.            Pre-empetif
Seperti juga penanganan setiap gangguan Kamtibmas, makapenanggulangan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkobaapabila dilakukan lebih dini di hulu jauh lebih baik dari pada di muara.Upaya pre-empetif yang dilakukan adalah berupa kegiatan-kegiatan edukatif dengan sasaran mempengaruhi faktor-faktor penyebab pendorong dan faktor peluang yang disebut faktor korelatif kriminogen (fkk) dari kejahatan Narkoba, sehingga tercipta suatu kesadaran kewaspadaan, daya tangkal dan terciptanya kondisi perilaku atau norma hidup bebas Narkoba termasuk kewaspadaan instansi terkait dan seluruhlapisan masyarakat.Kegiatan ini pada dasarnya berupa pembinaan dan pengembanganlingkungan pola hidup sederhana dan kegiatan positif terutama bagiremaja atau pemuda dengan kegiatan atau kegiatan yang bersifatproduktif, konstraktif dan kreatif, sedangkan kegiatan yang bersifatpreventif edukatif dilakukan dengan metode komunikasi informasiedukatif yang dapat dilakukan melalui berbagai jalur antara lain keluarga, pendidikan, lembaga keagamaan dan organisasi kemasyarakatan.
2.            Preventif
Upaya ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kejahatan Narkobamelalui pengadilan dan pengawasan jalur-jalur peredaran gelap dengan tujuan agar police hazard (ph) tidak berkembang menjadi ancaman faktual (af) antara lain dengan tindakan :
a)      Mencegah agar jumlah dan jenis psikotropika yang tersedia hanya untuk dunia pengobatan dan perkembangan ilmu pengetahuan.
b)      Menjaga ketetapan pemakaian sehingga tidak mengakibatkan ketergantungan.
c)      Mencegah agar kondisi geografis Indonesia tidak dimanfaatkan sebagai jalur gelap dengan mengawasi pantai serta pintu-pintu masuk Indonesia.
d)     Mencegah secara langsung peredaran gelap narkoba di dalam negeri disamping agar Indonesia tidak dimanfaatkan sebagai matarantai perdagangan gelap narkoba tingkat nasional, regional maupun internasional.
3.            Represif
Merupakan upaya penindakan dan penegakan hukum terhadap ancaman faktual dengan sanksi tegas dan konsisten dapat membuat jera terhadap para pelaku penyalahgunaan dan pengedar narkoba. Bentuk kegiatan yang dilakukan oleh POLRI dalam usaha represif adalah :
a)            memutuskan jalur gelap Narkoba
b)            mengungkap jaringan sindikat
c)            mengungkap motivasi atau latar belakang dari kejahatan penyalahgunaan     Narkoba.
d)           Treatment dan Rehabilitasi. Dilaksanakan oleh instansi di luar Polri khususnya oleh Departemen Sosial, Departemen Kesehatan dan instansi swasta lainnnya. Di Semarang perawatan ketergantungan Narkoba di Rumah Sakit Jiwa Pedurungan Semarang, Panti Pamardi Putra Mandiri (P3 Mandiri) dan sebagainya.




BAB III
KESIMPULAN
Penyalahgunaan narkoba yang dilakukan secara terus menerus akan mempengaruhi fungsi berfikir, perasaan dan perilaku orang yang memakainya. Keadaan ini bisa menimbulkan ketagihan (addiction) yang akhirnya mengakibatkan ketergantungan (dependence). Proses ketergantungan pada narkoba ini berbeda-beda, tergantung pada jenis-jenis narkoba yang disalahgunakan dan umumnya mula-mula berlangsung dengan penggunaan secara tidak teratur kemudian menjadi rutin dan mengakibatkan ketergantungan baik fisik maupun psikis. Ketergantungan fisik adalah suatu keadaan dimana tubuh membutuhkan rangsangan narkoba dan apabila pemakaiannya dihentikan akan menimbulkan gejala fisik yang dinamakan gejala putus zat. Sedangkan ketergantungan psikis adalah suatu keinginan yang selalu berada dalam ingatan, maka apabila pemakaian narkoba dihentikan akan menimbulkan kecemasan, kegelisahan dandepresi (Soejono D., 1985). Sementara itu bahaya dan akibat yang dapat ditimbulkan dari peredaran danpenyalahgunaan narkoba bukan saja merugikan bagi pemakai, tetapi juga terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Penyalahgunaan narkoba terhadap pemakai secara khusus adalah merusak kesehatan, baik fisik, mental maupun genetis, sedangkanterhadap lingkungan adalah meningkatnya tingkat kriminalitas. Oleh karena itu dapatdikatakan bahwa perbuatan kejahatan yang mempergunakan narkoba dapatdikategorikan dalam kriteria kejahatan yang membawa dampak amat luas. Jeanne Mandagi (1996), mengatakan bahwa bahaya yang dapat ditimbulkan akibat penyalahgunaan narkoba antara lain adalah:
1.      Gangguan fisik dan psikis, yaitu berupa emosi yang lebih mudah marah, gangguan daya ingat, rangsangan seksual yang berlebihan sehingga dapat menimbulkan prilaku menyimpang;
2.      Gangguan kesehatan seperti penyakit syaraf, alergi, dan reaksi anapektis yang
menunjukkan kepekaaan berlebihan;
3.      Gangguan kesehatan jiwa, sehingga menyebabkan aktivitas dan produktivitas hidup menurun sehingga dapat merugikan diri sendiri bahkan bangsa dan negara;
4.      Gangguan fungsi sosial, seperti sikap acuh tak acuh terhadap masyarakat sekitarnya dan dirinya sendiri;
5.      Gangguan kamtibmas, seperti melakukan tindakan kriminal bahkan khusus untuk kaum hawa tidak segan untuk terjun ke dunia pelacuran.
Berdasarkan uraian di atas semakin memperjelas bahwa bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian narkoba ternyata meliputi aspek yang luas, tidak saja yang bersifat internal bagi pemakainya tetapi juga bersifat eksternal termasuk lingkungan masyarakat sekitarnya. Terlepas dari beberapa bahaya di atas, maka bahaya yang paling besar dari penyalahgunaan narkoba adalah terhadap kelangsungan pembangunan bangsa dannegara. Terlebih lagi para pengguna narkoba umumnya adalah para remaja yang merupakan generasi penerus bangsa. Oleh karena itu tidak dapat dibayangkan nasib bangsa di masa depan apabila para remajanya telah banyak yang ketergantungan terhadap narkoba.
Semakin merebaknya penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja, merupakan wujud dari kegagalan, ketidakberdayaan dan ketidakperdulian baik dari keluarga, masyarakat,lingkungan sekolah maupun aparat penegak hukum dan instansi terkait. Dengandemikian remaja yang terlibat penyalahgunaan narkoba pada dasarnya adalah korban dari kondisi sosial yang diciptakan, yaitu tatanan masyarakat yang serba boleh dan longgar (permissive society) serta mengabaikan kaidah-kaidah agama, (Dadang Hawari,1997).
Demikian pula untuk wilayah Kalianda dan sekitarnya menurut informasi dan isue yangberkembang diduga juga telah menjalar pada sebagian generasi muda dan masyarakat pada umumnya. Menurut pengamatan sementara yang dilakukan pada wilayah Kalianda dan sekitarnya diketahui bahwa peredaran dan penyalahgunaan narkoba baik di kalangan remaja maupun masyarakat umum dan oknum lainnya menunjukkan indikasi kritis dan membahayakan. Menyadari kenyataan ini maka peranan sosial dan budaya dalam menanamkan norma, baik norma agama, moralitas maupun norma hukum sangat penting dilakukan terhadap masyarakat pada umumnya dan bagi remaja khususnya. Kontrol sosial perlu dilakukan dalam rangka membatasi dan menanggulangi peredaran dan penyalahgunaan narkoba.
Menyadari betapa pentingnya peranan sosial dan budaya dalam mengantisipasi peredaran dan penyalahgunaan narkoba tersebut maka dirasakan perlu dilakukan penyuluhan dengan tema “PENYULUHAN TENTANG DAMPAK PEREDARAN DAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA DALAM UPAYA MENCIPTAKAN KALIANDA BEBAS NARKOBA”. Hal ini, diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan dan upaya penanggulangan peredaran dan penyalahgunaan narkoba baik bagi generasi muda maupun masyarakat pada umumnya.
Berbagai program rehabilitasi napza menjadi salah satu langkah yang serius dalam penanganan penyalahgunaan napza. Adanya program rehabilitasi di Indonesia sesuai dengan pasal 37 ayat 1 UU No.5/1997 tentang Psikotropika yang menyebutkanbahwa pengguna psikotropika yang menderita sindrom ketergantungan berkewajiban ikut serta dalam pengobatan atau perawatan, serta pasal 45 UU No. 22/1997 tentangNarkotika, yang menyebutkan bahwa pecandu narkotika wajib menjalani pengobatandan/atau perawatan
Moto bahwa, "Pencegahan lebih baik dari mengobati", akan
benar-benar terbukti dalam kasus pemakaian obat-obat terlarang. Mereka
yang sudah terjerumus sampai menimbulkan ketergantungan akan lebih sulit
ditangani dan sukar diberikan pengarahan. Umumnya sukar untuk menghentikan pemakaian obat. Jalan satu-satunya adalah perawatan di RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat) dengan diusahakan pengurangan dosis sedikit demi sedikit sampai akhirnya pemakaiannya berhenti sama sekali.
Tentunya biaya perawatan ini sangat mahal sekali. Dalam hal ini maka
usaha pencegahan menjadi sangat penting sekali. Usaha pencegahan yang dikenal dengan "prevensi primer", yaitu pencegahan yang dilakukan pada
saat penyalahgunaan belum terjadi. Usaha ini antara lain:
1.      Pembinaan kehidupan beragama, baik di sekolah, keluarga dan lingkungan.
2.      Adanya komunikasi yang harmonis antara remaja dengan orang tua dan
guru serta lingkungannya.
3.      Selalu berperilaku positif dengan melakukan aktivitas fisik dalam
penyaluran energi remaja yang tinggi seperti berolahraga.
4.      Perlunya pengembangan diri dengan berbagai program/hobi baik di
sekolah maupun di rumah dan lingkungan sekitar.
5.      Mengetahui secara pasti gaya hidup sehat sehingga mampu menangkal
pengaruh atau bujukan memakai obat terlarang.
6.      Saling menghargai sesama remaja (peer group) dan anggota keluarga.
7.      Penyelesaian berbagai masalah di kalangan remaja/pelajar secara
positif dan konstruktif.
Dengan berbagai usaha tersebut semoga kalangan remaja/pelajar dapat
terhindar dari penyalahgunaan obat terlarang. Masa remaja akan dapat dijalani
dengan baik serta membuahkan masa dewasa yang sehat dan bertanggung jawab.



DAFTAR PUSTAKA

Kemiskinan di Indonesia

BAB I
PERMASALAHAN

  1. Intensitas dan Kompleksitas Masalah
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah "negara berkembang" biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang "miskin".
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
  • Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
  • Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
  • Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.


Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori , yaitu Kemiskinan absolut dan Kemiskinan relatif.
1.      Kemiskinan absolute yaitu apabila tingkat Pendapatannya di bawah “garis kemiskinan atau sejumlah pendapatnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum, antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan unuk bisa hidup dan bekerja. Kemiskinan absolute mengacu pada satu set standard yang konsisten , tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara.
2.      Kemiskinan Relatif yaitu kondisi dimana pendapatannya berada pada posisi di atas garis kemiskinan, namun relative lebih rendah dibanding pendapatan masyarakat sekitarnya.
Dampak dari kemiskinan terhadap masyarakat umumnya begitu banyak dan kompleks. Pertama Pengangguran, Sebagaimana kita ketahui jumlah pengangguran terbuka tahun 2007 saja sebanyak 12,7 juta orang. Jumlah yang cukup "fantastis" mengingat krisis multidimensional yang sedang dihadapi bangsa saat ini.
Dengan banyaknya pengangguran berarti banyak masyarakat tidak memiliki penghasilan karena tidak bekerja. Karena tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Secara otomatis pengangguran telah menurunkan daya saing dan beli masyarakat. Sehingga, akan memberikan dampak secara langsung terhadap tingkat pendapatan, nutrisi, dan tingkat pengeluaran rata-rata.
Meluasnya pengangguran sebenarnya bukan saja disebabkan rendahnya tingkat pendidikan seseorang. Tetapi, juga disebabkan kebijakan pemerintah yang terlalu memprioritaskan ekonomi makro atau pertumbuhan [growth]. Ketika terjadi krisis ekonomi di kawasan Asia tahun 1997 silam misalnya banyak perusahaan yang melakukan perampingan jumlah tenaga kerja. Sebab, tak mampu lagi membayar gaji karyawan akibat defisit anggaran perusahaan. Akibatnya jutaan orang terpaksa harus dirumahkan atau dengan kata lain meraka terpaksa di-PHK [Putus Hubungan Kerja].
Kedua Kekerasan, Sesungguhnya kekerasan yang marak terjadi akhir-akhir ini merupakan efek dari pengangguran. Karena seseorang tidak mampu lagi mencari nafkah melalui jalan yang benar dan halal. Ketika tak ada lagi jaminan bagi seseorang dapat bertahan dan menjaga keberlangsungan hidupnya maka jalan pintas pun dilakukan. Misalnya, merampok, menodong, mencuri, atau menipu [dengan cara mengintimidasi orang lain] di atas kendaraan umum dengan berpura-pura kalau sanak keluarganya ada yang sakit dan butuh biaya besar untuk operasi. Sehingga dengan mudah ia mendapatkan uang dari memalak
Ketiga Pendidikan, Tingkat putus sekolah yang tinggi merupakan fenomena yang terjadi dewasa ini. Mahalnya biaya pendidikan membuat masyarakat miskin tidak dapat lagi menjangkau dunia sekolah atau pendidikan. Jelas mereka tak dapat menjangkau dunia pendidikan yang sangat mahal itu. Sebab, mereka begitu miskin. Untuk makan satu kali sehari saja mereka sudah kesulitan. Akhirnya kondisi masyarakat miskin semakin terpuruk lebih dalam. Tingginya tingkat putus sekolah berdampak pada rendahya tingkat pendidikan seseorang. Dengan begitu akan mengurangi kesempatan seseorang mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Ini akan menyebabkan bertambahnya pengangguran akibat tidak mampu bersaing di era globalisasi yang menuntut keterampilan di segala bidang.
Keempat, kesehatan. Seperti kita ketahui, biaya pengobatan sekarang sangat mahal. Hampir setiap klinik pengobatan apalagi rumah sakit swasta besar menerapkan tarif atau ongkos pengobatan yang biayanya melangit. Sehingga, biayanya tak terjangkau oleh kalangan miskin.
Kelima, konflik sosial bernuansa SARA. Tanpa bersikap munafik konflik SARA muncul akibat ketidakpuasan dan kekecewaan atas kondisi miskin yang akut. Hal ini menjadi bukti lain dari kemiskinan yang kita alami. M Yudhi Haryono menyebut akibat ketiadaan jaminan keadilan "keamanan" dan perlindungan hukum dari negara, persoalan ekonomi-politik yang obyektif disublimasikan ke dalam bentrokan identitas yang subjektif.


  1. Latar Belakang Masalah
Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:
·         penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin;
·         penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga;
·         penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar;
·         penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi;
·         penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun di Amerika Serikat (negera terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin; yaitu, orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati atas garis kemiskinan.

  1. Penanganan Masalah Berbasis Masyarakat
Tingkat kinerja penanggulangan kemiskinan dan pengangguran di Indonesia kondisinya masih belum optimal. Koordinasi yang dalam hal pendataan, pendanaan dan kelembagaan masih lemah. Kelemahan ini juga dirasakan pada koordinasi antar program-program penanggulangan kemiskinan di antara instansi pemerintah pusat dan daerah, begitu juga dengan integrasi program pada tahap perencanaan, sinkronisasi program pada tahap pelaksanaan, serta sinergi antar pelaku (pemerintah, dunia usaha, masyarakat madani) dalam penyelenggaraan keseluruhan upaya penanggulangan kemiskinan. Selain kelembagaan di pemerintah, kita masih dihadapkan pada fakta pada belum optimalnya dunia usaha, LSM, dan masyarakat madani dalam bermitra dan bekerjasama dalam penanggulangan kemiskinan serta penciptaan lapangan kerja.
Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) merupakan program pemerintah yang secara substansi berupaya dalam penanggulangan kemiskinan melalui konsep memberdayakan masyarakat dan pelaku pembangunan lokal lainnya, termasuk Pemerintah Daerah dan kelompok peduli setempat, sehingga dapat terbangun "gerakan kemandirian penanggulangan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan", yang bertumpu pada nilai-nilai luhur dan prinsip-prinsip universal. [Dikutip dari : Buku Pedoman Umum P2KP-3, Edisi Oktober 2005]
1.      Mengembangkan Sistem Sosial Yang Responsif
Permasalahan dasar kemiskinan di Indonesia dapat digambarkan dengan kondisi dimana masih tingginya jumlah penduduk miskin yaitu 39,05 juta jiwa atau sekitar 17,75 persen (BPS, Maret 2006), masih tingginya Rumah Tangga Miskin di Indonesia yaitu 19,2 juta KK ( BPS, 2006), masih tingginya angka pengangguran sebesar 10,24 persen dari total angkatan kerja yang berjumlah 103 juta jiwa (2006). Selain itu, dalam hal akses pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan & permukiman, infrastruktur, permodalan/kredit dan informasi bagi masyarakat miskin dirasakan masih sangat terbatas. Jika diamati dengan seksama di sebagian wilayah nusantara ini, masih terdapat luasnya kawasan kumuh dan kantong-kantong kemiskinan yang jumlahnya sekitar 56.000 hektar kawasan kumuh di perkotaan di 110 kota-kota, dan 42.000 desa dari sejumlah 66.000 desa dikategorikan desa miskin.
Selama ini pemerintah [tampak limbo] belum memiliki strategi dan kebijakan pengentasan kemiskinan yang jitu. Kebijakan pengentasan kemiskinan masih bersifat pro buget, belum pro poor. Sebab, dari setiap permasalahan seperti kemiskinan, pengangguran, dan kekerasan selalu diterapkan pola kebijakan yang sifatnya struktural dan pendekatan ekonomi [makro] semata.
Semua dihitung berdasarkan angka-angka atau statistik. Padahal kebijakan pengentasan kemiskinan juga harus dilihat dari segi non-ekonomis atau non-statistik. Misalnya, pemberdayaan masyarakat miskin yang sifatnya "buttom-up intervention" dengan padat karya atau dengan memberikan pelatihan kewirauasahaan untuk menumbuhkan sikap dan mental wirausaha [enterpreneur]
2.      Pemanfaatan Modal Sosial
                                                  i.      Asian Development Bank (ADB) telah menyetujui pemberian hibah bantuan teknis regional (RETA) sebesar US$500,000 melalui Dana Kerja Sama untuk Pengurangan Kemiskinan. Bantuan ini ditujukan untuk memperkuat pengembangan kemitraan yang strategis dalam jangka panjang dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan pemerintah dalam rangka mengurangi kemiskinan di kawasan Asia dan Pasifik. RETA ini merupakan satu proyek percobaan yang akan mendukung perencanaan program bantuan yang lebih besar untuk LSM dari ADB. Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang yang terpilih mendapatkan pembagian dana hibah ini sebesar US$ 50.000 yang akan disalurkan ke sejumlah LSM untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan pengurangan kemiskinan yang inovatif atau pembangunan nasional atau kegiatan-kegiatan lain yang memiliki kaitan strategis dengan kegiatan ADB di Indonesia.
                                                ii.      Pada tahun 2003 ADB telah menyalurkan bantuan untuk 3 LSM di Indonesia yakni Urban Regional Development Institute (URDI), Koalisi untuk Indonesia Sehat (KuIS) dan Yayasan Masyarakat Madani (YMM)
                                              iii.      Depsos menggarkan dana Rp 3,6 triliun untuk mencapai target penurunan masyarakat miskin.
                                              iv.      Depsos sudah menganggarkan Rp 184 miliar untuk sekitar 160 ribu jiwa anak Dana tersebut dianggarkan untuk program yang dilakukan Depsos untuk penanganan Anjal, adalah memperbanyak rumah singgah dan panti. Misalnya, khusus Anjal yang usianya sudah 15 tahun akan diarahkan dan diberi pelatihan.
                                                v.      Bantuan kemiskinan, atau membantu secara langsung kepada orang miskin. Ini telah menjadi bagian pendekatan dari masyarakat Eropa sejak zaman pertengahan.Bantuan terhadap keadaan individu. Banyak macam kebijakan yang dijalankan untuk mengubah situasi orang miskin berdasarkan perorangan, termasuk hukuman, pendidikan, kerja sosial, pencarian kerja, dan lain-lain.
                                              vi.      Persiapan bagi yang lemah. Daripada memberikan bantuan secara langsung kepada orang miskin, banyak negara sejahtera menyediakan bantuan untuk orang yang dikategorikan sebagai orang yang lebih mungkin miskin, seperti orang tua atau orang dengan ketidakmampuan, atau keadaan yang membuat orang miskin, seperti kebutuhan akan perawatan kesehatan.
                                            vii.      Melalui pendekatan kelembagaan masyarakat dan penyediaan dana bantuan langsung ke masyarakat kelurahan sasaran, P2KP cukup mampu mendorong dan memperkuat partisipasi serta kepedulian masyarakat setempat secara terorganisasi dalam penanggulangan kemiskinan. Artinya, Program penanggulangan kemiskinan berpotensial sebagai “gerakan masyarakat”, yakni; dari, oleh dan untuk masyarakat
3.            Pemanfaatan Institusi Sosial
Permasalahan dasar kemiskinan di Indonesia dapat digambarkan dengan kondisi dimana masih tingginya jumlah penduduk miskin yaitu 39,05 juta jiwa atau sekitar 17,75 persen (BPS, Maret 2006), masih tingginya Rumah Tangga Miskin di Indonesia yaitu 19,2 juta KK ( BPS, 2006), masih tingginya angka pengangguran sebesar 10,24 persen dari total angkatan kerja yang berjumlah 103 juta jiwa (2006). Selain itu, dalam hal akses pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan & permukiman, infrastruktur, permodalan/kredit dan informasi bagi masyarakat miskin dirasakan masih sangat terbatas. Jika diamati dengan seksama di sebagian wilayah nusantara ini, masih terdapat luasnya kawasan kumuh dan kantong-kantong kemiskinan yang jumlahnya sekitar 56.000 hektar kawasan kumuh di perkotaan di 110 kota-kota, dan 42.000 desa dari sejumlah 66.000 desa dikategorikan desa miskin.
Tingkat kinerja penanggulangan kemiskinan dan pengangguran di Indonesia kondisinya masih belum optimal. Koordinasi yang dalam hal pendataan, pendanaan dan kelembagaan masih lemah. Kelemahan ini juga dirasakan pada koordinasi antar program-program penanggulangan kemiskinan di antara instansi pemerintah pusat dan daerah, begitu juga dengan integrasi program pada tahap perencanaan, sinkronisasi program pada tahap pelaksanaan, serta sinergi antar pelaku (pemerintah, dunia usaha, masyarakat madani) dalam penyelenggaraan keseluruhan upaya penanggulangan kemiskinan. Selain kelembagaan di pemerintah, kita masih dihadapkan pada fakta pada belum optimalnya dunia usaha, LSM, dan masyarakat madani dalam bermitra dan bekerjasama dalam penanggulangan kemiskinan serta penciptaan lapangan kerja.
a.       Organisasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan memang bukanlah hal mudah. Mewujudkannya memerlukan waktu, sumberdaya, pengertian dan ketekunan. Namun demikian hasil akhirnya akan menjadikan proses pembangunan yang tidak hanya (eksklusif) dalam control para professional eksternal tapi juga melibatkan masyarakat local, representative mereka, ide-ide mereka, kemampuan dan pengetahuan mereka. Partisipasi masyarakat dapat menjamin keberlangsungan (sustainability) pembangunan itu sendiri, dapat membuat aktivitas pembangunan lebih efektif dan dapat membantu meningkatkan kapasitas local.
b.      Organisasi swasta
Kegiatan proyek dilaksanakan di lokasi proyek-proyek ADB yang sedang berjalan dan tidak tumpang tindih dengan kegiatan-kegiatan ADB lainnya yang saat ini tengah berlangsung seperti Bantuan Teknis/Technical Assistance (TA) untuk peningkatan kapasitas LSM, Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Miskin Melalui Inovasi, serta Proyek Penguatan Masyarakat serta Pembangunan Pedesaan.
c.       Optimalisasi Kontribusi Dalam Pelayanan Sosial
Manifestasi dari komitmen Indonesia dimaksud terlihat dari beberapa lembaga pemerintah maupun swasta yang mempunyai konsentrasi dalam penanganan kemiskinan. Berbagai model penanganan kemiskinan yang telah dijalankan cukup banyak, misalnya Program Kesejahteraan Sosial Kelompok Usaha Bersama Keluarga Muda Mandiri (Prokesos KUBE KMM), Tabungan Kesejahteraan Rakyat (Takesra), Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Kukesra), Kredit Usaha Kecil Menengah, Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net Program) dan lain-lain.
Program Penanggulangan Kemiskinan bersasaran (targeted poverty alleviation) paling serius dalam sejarah bangsa Indonesia adalah program IDT di sepertiga desa di Indonesia, dan program Takesra/Kukesra di dua pertiga desa lainnya. Keduanya didasarkan atas Inpres 5/1993 dan Inpres 3/1996, yang pertama dengan anggaran dari APBN dan yang kedua dari APBN ditambah bantuan konglomerat. Program IDT maupun Takesra/Kukesra keduanya dilaksanakan melalui pendekatan kelompok sasaran antara 15-30 kepala keluarga dengan pemberian modal bergulir, yang pertama (IDT) sebagai hibah dan yang kedua sebagai pinjaman/kredit mikro.
Pada dekade 1976-1996, persentase penduduk miskin di Indonesia pernah mengalami penurunan yaitu dari 40,1% menjadi 11,3%, namun pada periode 1996-1998 angka ini menjadi 24,29% atau 49,5 juta jiwa. Bahkan International Labour Organization  (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3% (BPS, 1999). Pada tahun 2002, persentase kemiskinan telah mengalami penurunan, namun secara absolut jumlah mereka masih tergolong tinggi, yaitu 43% atau sekitar 15,6 juta (BPS dan Depsos 2002). Diantara angka tersebut, diduga jumlah fakir miskin relatif banyak. Tanpa mengurangi arti pentingnya pembangunan yang sudah dilakukan, angka kemiskinan tersebut mengindikasikan konsep model yang dibangun belum mampu membentuk sosial ekonomi masyarakat yang tangguh. 

d.      Kerjasama dan Jaringan

Pemanfaatan jaringan, merupakan salah satu upaya yang ditempuh oleh keluarga fakir miskin dalam mengatasi masalah keluarga. Jaringan yang dimaksud adalah relasi sosial mereka, baik secara informal maupun formal dengan lingkungan sosialnya dan lingkungan kelembagaan. Pemanfaatan jaringan ini terlihat jelas dalam mengatasi masalah ekonomi dengan pinjam uang kepada tetangga, mengutang ke warung terdekat, memanfaatkan program anti kemiskinan, bahkan ada yang pinjam uang ke rentenir atau bank dan sebagainya).

  1. Upaya Penanganan Masalah
PADA umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk miskin.
Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang.
Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.
Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.
Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.
Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal.
Berdasar dari data yang terhimpun melalui penelitian ini terungkap cukup banyak strategi yang dipergunakan keluarga fakir miskin dalam menghadapi permasalahannya. Bentuk-bentuk strategi dimaksud dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.      Optilalisasi sumber daya manusia (SDM)
Strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk  peningkatan penghasilan karena tuntutan hidup yang semakin besar. Berbagai bentuk strategi yang dibangun oleh keluarga fakir miskin antara lain: melakukan aktivitas sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan atau mengerahkan anggota keluarga untuk memperoleh penghasilan. Berdasar hasil skoring, strategi ini memperoleh nilai 2,70. Secara numerik angka ini menunjukkan, bahwa strategi dimaksud sering dilakukan. Bahkan dalam strategi ini, sebagian dari mereka adalah anak yang masih duduk di bangku sekolah. Jika rata-rata dalam keluarga mempunyai 5 orang anggota, maka kondisi ini merupakan potensi yang relatif besar untuk mengakses uang.

Di satu sisi, strategi pelibatan anak dalam peran ekonomi ini akan memupuk kemampuan anak untuk membaca peluang ekonomi. Mereka akan lebih mampu memanfaatkan situasi dan kondisi untuk mengakses uang. Namun di sisi lain, strategi ini akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan hak anak terutama hak untuk memperoleh pendidikan. Sebagian besar waktu yang seharusnya untuk belajar mereka pergunakan untuk bekerja atau membantu keluarga dalam peran ekonomi. Akibat lanjut, kualitas pendidikan anak-anak mereka relatif rendah. Sadar ataupun tidak, pemanfaatan strategi ini dapat dikonotasikan sebagai suatu jebakan kemiskinan.

2.      Penekanan/pengetatan pengeluaran

Penekanan/pengetatan pengeluaran merupakan strategi yang bersifat pasif, yaitu mengurangi pengeluaran keluarga (misalnya pengeluaran biaya untuk sandang, pangan, biaya sosial, transportasi, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Secara kumulatif  hasil skoring terhadap strategi ini memperoleh nilai 2,76. Angka ini dapat diterjemahkan, bahwa mereka sering menekan biaya pengeluaran dan menghindari resiko.

Dalam kerangka penekanan/pengetatan pengeluaran, seringkali mereka mengabaikan kebutuhan pelayanan untuk kesehatan. Walaupun mereka telah mempunyai kartu sehat dari Dinas Kesehatan. Pengurangan pengeluaran biaya kesehatan lebih banyak dilakukan, karena kesehatan tidak menjadi prioritas utama mereka. Perhatian mereka lebih terfokus kepada kegiatan yang berhubungan dengan pencarian nafkah
 3.      Pemanfaatan jaringan.

Strategi pemanfaatan jaringan, merupakan salah satu upaya yang ditempuh oleh keluarga fakir miskin dalam mengatasi masalah keluarga. Jaringan yang dimaksud adalah relasi sosial mereka, baik secara informal maupun formal dengan lingkungan sosialnya dan lingkungan kelembagaan. Pemanfaatan jaringan ini terlihat jelas dalam mengatasi masalah ekonomi dengan pinjam uang kepada tetangga, mengutang ke warung terdekat, memanfaatkan program anti kemiskinan, bahkan ada yang pinjam uang ke rentenir atau bank dan sebagainya).

Secara numerik, skor yang diperoleh dari pemanfaatan jaringan (2,57). Angka ini menunjukkan, bahwa mereka sering meminta bantuan kepada relasi sosialnya terutama kepada teman sekerja atau tetangga. Kondisi ini menunjukkan, bahwa di antara mereka mempunyai solidaritas yang kuat dan saling percaya. Tampaknya teman merupakan tumpuan untuk memperoleh pertolongan dan sebagai tempat pertama yang akan dituju apabila mereka mengalami masalah. Relasi mereka tidak hanya sebatas di bidang ekonomi, tetapi mencakup bidang-bidang yang lain, misalnya dalam peningkatan mental spiritual. Kegiatan ini  merupakan strategi yang bersifat aktif  untuk memperoleh dukungan emosional.


BAB II
KESIMPULAN

Berkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan informasi kemiskinan yang ada sekarang perlu dicermati lebih lanjut, terutama terhadap manfaatnya untuk perencanaan lokal.
Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal.
Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional, tingkat  kabupaten/kota, maupun di tingkat komunitas.Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah, selain data tersebut belum tentu relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut juga hanya dapat digunakan sebagai indikator dampak dan belum mencakup indikator-indikator yang dapat menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau komunitas.
Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator-indikator yang realistis yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena-fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit sosial yang lebih besar, dan wilayah.
Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti perlu mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya, khususnya dalam era otonomi daerah sekarang. Para peneliti tersebut tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga disiplin ilmu sosiologi, ilmu antropologi dan lainnya.
Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya memadai dalam upaya pengentasan kemiskinan secara operasional di daerah. Sebaliknya, informasi-informasi yang dihasilkan dari pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena data tersebut tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di tingkat daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan makro yang diperlukan dalam sistem statistik nasional, perlu juga diperoleh data kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem statistik yang dikumpulkan secara lokal tersebut perlu diintegrasikan dengan sistem statistik nasional sehingga keterbandingan antarwilayah, khususnya keterbandingan antarkabupaten dan provinsi dapat tetap terjaga.
Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan informasi statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut. Selain itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama antara pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder), baik lokal maupun nasional atau internasional, agar penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak tumpang tindih.
Ketersediaan informasi tidak selalu akan membantu dalam pengambilan keputusan apabila pengambil keputusan tersebut kurang memahami makna atau arti dari informasi itu. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya kemampuan teknis dari pemimpin daerah dalam hal penggunaan informasi untuk manajemen.
Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pembangunan di daerah, diusulkan agar dilakukan pemberdayaan pemerintah daerah, instansi terkait, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pemanfaatan informasi untuk kebijakan program. Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil keputusan, baik pemerintah daerah, dinas-dinas pemerintahan terkait, perguruan tinggi, dan para LSM, dapat menggali informasi yang tepat serta menggunakannya secara tepat untuk membuat kebijakan dan melaksanakan program pembangunan yang sesuai
Pemerintah daerah perlu membangun sistem pengelolaan informasi yang menghasilkan segala bentuk informasi untuk keperluan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan program pembangunanyang sesuai. Perlu pembentukan tim teknis yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Pembentukan tim teknis ini diharapkan mencakup pemerintah daerah dan instansi terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal maupun nasional, agar secara kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah.
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa walaupun kebutuhan sistem pengumpulan data yang didesain, diadministrasikan, dianalisis, dan didanai pusat masih penting dan perlu dipertahankan, sudah saatnya dikembangkan pula mekanisme pengumpulan data untuk kebutuhan komunitas dan kabupaten.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas kuncinya harus ada kebijakan dan strategi pembangunan yang komprehensif dan berkelanjutan jangka panjang. Pemerintah boleh saja mengejar pertumbuhan-ekonomi makro dan ramah pada pasar. Tetapi, juga harus ada pembelaan pada sektor riil agar berdampak luas pada perekonomian rakyat.
Ekonomi makro-mikro tidak bisa dipisahkan dan dianggap berdiri sendiri. Sebaliknya keduanya harus seimbang-berkelindan serta saling menyokong. Pendek kata harus ada simbiosis mutualisme di antara keduanya.
Perekonomian nasional dengan demikian menjadi sangat kokoh dan vital dalam usaha pemenuhan cita-cita tersebut. Perekonomian yang tujuan utamanya adalah pemerataan dan pertumbuhan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebab, tanpa perekonomian nasional yang kuat dan memihak rakyat maka mustahil cita-cita tersebut dapat tercapai. Intinya tanpa pemaknaan yang subtansial dari kemerdekaan politik menjadi kemerdekaan ekonomi maka sia-sialah pembentukan sebuah negara. Mubazirlah sebuah pemerintahan. Oleh karenanya pentingnya menghapus kemiskinan sebagai prestasi pembangunan yang hakiki.