Senin, 11 April 2011

EVALUASI KUALITAS UDARA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Menjaga kualitas udara merupakan tanggung jawab kita semua. Udara yang bersih akan menciptakan generasi yang sehat dan sebaliknya udara yang kotor akan membangun generasi yang rentan akan penyakit.
Kualitas udara perkotaan di Indonesia menunjukkan kecenderungan menurun dalam dekade terakhir. Ekonomi kota yang tumbuh dan telah mendorong urbanisasi merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi kualitas udara di perkotaan.
Untuk mengetahui kualitas udara perkotaan yang bersumber dari transportasi maka untuk kedua kalinya dilaksanakan Program Evaluasi Udara Perkotaan pada tahun 2008 dan dilakukan di 14 kota Metropolitan dan 2 kota besar.
Pada makalah ini dijelaskan hasil evaluasi Th. 2008 yang memuat pelaksanaan hasil pemantauan, evaluasi dan valuasi evaluasi kualitas udara perkotaan yang menggambarkan posisi kinerja pemerintah kota dalam pengelolaan kualitas udara dibandingkan dengan kota lainnya pada kategori yang sama. Peringkat ini disebut sebagai Peringkat Langit Biru Kota.

B.     TUJUAN
Diharapkan makalah ini dapat menjadi sumber informasi serta acuan pemeritah kota dan masyarakat dalam meningkatkan kualitas udara di kotanya. Berdasarkan informasi ini, diharapkan pemerintah kota dapat menyusun rencana kerja dan melaksanakan upaya perbaikan kualitas udara serta dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam upaya menjaga kualitas udara yang bersih dan sehat.

C.     SASARAN
Sasaran dari pembuatan makalah ini yaitu Masyarakat Kota dan Pemerintah Kota. Pemerintah Kota diharapkan agar dapat segera menyusun rencana kerja dan melaksanakan upaya perbaikan kualitas udara. Meningkatkan kesadaran masyarakat dalam upaya menjaga kualitas udara yang bersih dan sehat.



BAB II
PERMASALAHAN


A.    LATAR BELAKANG
Pencemaran Udara merupakan salah satu dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh daerah perkotaan. Kualitas udara perkotaan di Indonesia menunjukkan kecenderungan menurun dalam dekade terakhir. Ekonomi kota yang tumbuh dan telah mendorong urbanisasi merupakan faktor penting yang mempengaruhi kualitas udara di perkotaan. Kebutuhan transportasi dan energi meningkat sejalan dengan bertambahnya penduduk, perkembangan kota, dan berubahnya gaya hidup karena meningkatnya pendapatan. Peningkatan konsumsi energi ini meningkatkan pencemaran udara yang pada akhirnya menimbulkan kerugian ekonomi dan meningkatnya biaya kesehatan. Kegiatan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat akan sangat ironis apabila ternyata semakin merusak kualitas lingkungan khususnya udara yang semakin kotor dan tidak sehat.
Penduduk Indonesia diprediksi akan meningkat antara tahun 2000 dan 2025 dari sekitar 206 juta menjadi sekitar 274 juta. Rata-rata penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan di pulau Jawa saja mencapai 60 % pada tahun 2020 sementara di tahun 2025 rata-rata penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan di seluruh Indonesia mencapai 59,5 %.
Perubahaan kualitas hidup di perkotaan tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga menghasilkan dampak negatif. Salah satu dampak negatif adalah meningkatnya pencemaran udara secara signifikan, terutama di perkotaan yang menjadi lokasi pembangunan kawasan perdagangan dan industri. Meningkatnya kegiatan pemindahan barang dan orang dari kawasan industri menyebabkan kemacetan lalu lintas dan meningkatkan konsumsi energi, yang pada gilirannya akan meningkatkan pencemaran udara.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi juga mendorong perubahan gaya hidup penduduk perkotaan sebagai dampak dari meningkatnya pendapatan. Era 80-an sektor domestik masih merupakan konsumen energi paling tinggi, tetapi seiring dengan berjalannya waktu terlihat peningkatan kebutuhan energi untuk sektor industri dan transportasi.
Sementara tingkat kepadatan lalu lintas di kota-kota metropolitan dan besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Medan sampai saat ini yang masih menjadi masalah khusus adalah pada upaya pengendalian pencemaran udara dari emisi kendaraan bermotor. Sekitar 70% kontribusi pencemaran udara berasal dari sektor transportasi (JICA, 1997). Saat ini jumlah dan penggunaan kendaraan bermotor bertambah dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 12 % per tahun. Komposisi terbesar adalah sepeda motor.


B.     PERMASALAHAN
Pencemaran udara telah menjadi masalah yang sangat serius di kota-kota di Indonesia dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Dampaknya terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat serta pada ekosistem telah banyak menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar sehingga perlu segera ditangani. Sedikitnya Rp. 3,8 triliun per tahun adalah estimasi angka kerugian yang harus dibebankan pada ekonomi kota sebagai biaya kesehatan pencemaran udara di DKI Jakarta pada tahun 2002.
Departemen Perhubungan mencatat biaya kemacetan mencapai Rp. 10 trilium per tahun belum lagi terjadinya peningkatan pencemaran udara dimana 87% di perkotaan berasal dari sektor transportasi. Dari sisi kesehatan juga tercatat angka kematian bayi prematur di Jakarta pada tahun 2003 mencapai diatas 4.000 dan serangan asma diatas 1.5 juta per tahun. ISPA menduduki peringkat ke-1 dari 10 jenis penyakit terbanyak di Indonesia pada tahun 2004 dengan penderitaan rata-rata 42%. Penelitian yang dilakukan oleh Lead Info Center dan UI di Makassar juga menunjukkan terjadi peningkatan Pb dalam darah balita yang bermukim di pinggir jalan dimana 90 % anak-anak balita tersebut memiliki kandungan Pb diatas 1ug/m3, hal ini dapat menurunkan tingkat IQ anak-anak.
Sumber pencemaran udara yang utama di kota-kota besar adalah sumber bergerak yaitu transportasi dan sumber tidak bergerak yaitu pembangkit listrik dan industri. Transportasi diperkirakan menyumbangkan 76% dari total emisi pencemar oksida nitrogen (NOx). Sedangkan untuk emisi hidrokarbon (HC) dan karbon monoksida (CO), transportasi merupakan kontributor utama (lebih dari 90%). Kualitas emisi kendaraan bermotor ditentukan oleh beberapa faktor :
1.           Teknologi Mesin
2.           Perawatan Kendaraan
3.           Teknologi pengontrolan/pereduksi emisi
4.           Kualitas Bahan Bakar
Sistem transportasi dan tata ruang perkotaan juga mempengaruhi pola pergerakan manusia dan kendaraan dari suatu kota yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas udara. Pengendalian pencemaran udara melalui peningkatan sistem transportasi terfokus pada dua aspek, yaitu pengurangan volume kendaraan dan pengurangan kepadatan lalu lintas.

C.     PENDEKATAN
Evaluasi kualitas udara perkotaan merupakan bagian dari pelaksanaan Program Langit Biru di Indonesia dan merupakan implementasi dari Deklarasi Kyoto, maka pendekatan yang digunakan adalah gabungan pendekatan pengelolaan kualitas udara dan transportasi berkelanjutan. Harus diingat pula bahwa transportasi adalah kebutuhan publik dan udara bersih adalah hak publik. A.R. Barter Tamim Raad dalam bukunya Taking Steps : A Community Action Guide to People-Centred, Equitable and Sustainable Urban Transport menyebutkan, bahwa sistem transportasi berkelanjutan harus memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut :
1.      Aksesibilitas untuk semua orang
Sistem transportasi yang berkelanjutan harus dapat menjamin adanya akses bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk para penyandang cacat, anak-anak dan lansia, untuk mendapatkan paling tidak kebutuhan dasarnya seperti kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan.
2.      Kesetaraan Sosial
Sistem transportasi selayaknya tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat tingkat atas, yaitu dengan mengutamakan pembangunan jalan raya dan jalan tol semata. Penyediaan sarana angkutan umum yang terjangkau dan memiliki jaringan yang baik merupakan bentuk pemenuhan kesetaraan sosial, sehingga masyarakat dapat memanfaatkan pelayanan transportasi yang diberikan.
Kesetaraan adalah ukuran yang menunjukkan kesenjangan atau disparitas yang terjadi dalam masyarakat. Transportasi harus mampu memberikan dan menjamin akses pada masyarakat tanpa tergantung apakah mereka kaya atau miskin, laki-laki atau wanita, muda atau orang tua dan anak-anak, mereka yang normal atau cacat, yang tinggal di kota atau desa. Semua itu disebut Intra-generation equity atau keadilan dalam generasi yang sama.
3.      Keberkelanjutan Lingkungan
Sistem transportasi harus seminimal mungkin memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Oleh karena itu, sistem transportasi yang berkelanjutan harus mempertimbangkan jenis bahan bakar yang digunakan selain efisiensi dan kinerja dari kendaraan itu sendiri. Kombinasi dan integrasi dengan moda angkutan tak bermotor, termasuk berjalan kaki, dan moda angkutan umum (massal) merupakan upaya untuk mempertahankan keberlanjutan lingkungan dengan meminimalkan dampak lingkungan.
Perencanaan sistem transportasi harus disertai dengan pengadaan prasarana yang sesuai dan memenuhi persyaratan dan kriteria transportasi antara lain volume penampungan, kecepatan rata-rata, aliran puncak, keamanan pengguna jalan. Selain itu harus juga memenuhi persyaratan lingkungan yang meliputi jenis permukaan, pengamanan penghuni sepanjang jalan, kebisingan, pencemaran udara, penghijauan, dan penerangan.
Dalam konteks ini, untuk mencapai sistem transportasi darat tersebut, ada beberapa hal yang perlu dijalankan, di antaranya; Pertama, rekayasa lalu lintas, Kedua, pengendalian pada sumber (mesin kendaraan). Ketiga energi transportasi.
4.      Kesehatan dan Keselamatan
Sistem transportasi yang berkelanjutan harus dapat menekan dampak terhadap kesehatan dan keselamatan. Secara umum, sekitar 70 % pencemaran udara dihasilkan oleh kegiatan transportasi dan ini secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak terhadap kesehatan terutama terhadap sistem pernafasan.
5.      Partisipasi masyarakat dan transparansi
Sistem transportasi disediakan untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat harus diberikan porsi yang cukup untuk ikut menentukan moda transportasi yang digunakan serta terlibat dalam proses pengadaannya. Partisipasi perlu terus diperkuat agar suara mereka dapat diperhitungkan dalam proses perencanaan, implementasi dan pengelolaan sistem transportasi kota.
6.      Biaya rendah dan ekonomis
Sistem transportasi yang berkelanjutan tidak terfokus pada akses bagi kendaraan bermotor semata, melainkan terfokus pada seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, sistem transportasi yang baik adalah yang efisien, berbiaya rendah (ekonomis) dan terjangkau.
7.      Informasi
Masyarakat harus terlibat secara aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan serta pengelolaan sistem transportasi. Untuk itu, masyarakat harus memahami latar belakang pemilihan sistem transportasi serta kebijakannya. Ini juga merupakan bagian untuk menjamin proses transparansi dalam perencanaan, implementasi dan pengelolaan transportasi kota.
8.      Advokasi
Advokasi merupakan komponen penting untuk memastikan terlaksananya sistem transportasi yang tidak lagi memihak pada pengguna kendaraan bermotor pribadi semata melainkan memihak pada kepentingan orang banyak. Advokasi dapat dilakukan oleh berbagai pihak dan dalam berbagai bentuk. Penguatan bagi pengguna angkutan umum misalnya, akan sangat membantu dalam mengelola sistem transportasi umum yang aman dan nyaman.
9.      Peningkatan Kapasitas
Pembuat kebijakan dalam sektor transportasi perlu mendapatkan peningkatan kapasitas untuk dapat memahami paradigma baru dalam pengadaan sistem transportasi yang lebih bersahabat, memihak pada kepentingan masyarakat.
10.  Jejaring Kerja
Jejaring kerja dari berbagai stakeholder sangat diperlukan terutama sebagai ajang bertukar informasi dan pengalaman untuk dapat menerapkan sistem transportasi kota yang berkelanjutan.

Guna mencapai tujuan dan sasaran kegiatan evaluasi udara perkotaan, maka perlu diperhatikan beberapa unsur yang menjadi faktor penentu keberhasilan yaitu :
1)      Motivasi dan komitmen tiap kepala daerah
2)      Kompetensi dan Komitmen
3)      Efektivitas Kelembagaan
4)      Kapasitas dan Kinerja Sumber Daya Manusia
5)      Kebijakan yang akan datang
6)      Koordinasi dengan para pemangku kepentingan di daerahnya
7)      Partisipasi aktif masyarakat
8)      Sistem pertanggungjawaban yang jelas
9)      Pelaksanaan yang transparan
10)  Perencanaan terpadu termasuk pengembangan tata ruang kota


D.    LINGKUP KEGIATAN
Kegiatan evaluasi udara perkotaan secara garis besar terdiri dari :
1.      Pengembangan kriteria dan indikator kinerja yang ditujukan untuk mencapai transportasi kota yang berwawasan lingkungan atau Sustainable Urban Transport City
2.      Pengembangan kriteria fisik dan non fisik sesuai perencanaan makro
3.      Pengembangan aplikasi database termasuk valuasi dari kriteria terpilih
4.      Penyelenggaraan sosialisasi dan asistensi teknis
5.      Evaluasi kinerja pengelolaan kualitas udara perkotaan melalui pemantauan fisik dan non fisik
6.      Publik ekspose terhadap hasil pemantauan
7.      Peningkatan kapasitas pemerintah daerah
8.      Promosi daerah untuk lebih berperan di tingkat internasional baik melalui EST Forum maupun kegiatan lainnya
9.      Penyelengaraan rapat koordinasi teknis dengan pemerintah kota
10.  Pemberian penghargaan
Program ini akan dilakukan secara berkala sehingga terlihat peningkatan maupun penurunan kinerja antar waktu dan tren kualitas udara dari tahun ke tahun.




BAB III
INDIKATOR EVALUASI KUALITAS UDARA TAHUN 2009

A.   RENCANA MAKRO EVALUASI KUALITAS UDARA PERKOTAAN
Sistem Transportasi Berkelanjutan yang dikenal sebagai Environmental Sustainable Transportation (EST) diawali dengan Pertemuan pertama Regional EST Forum di Nagoya pada tanggal 1-2 Agustus 2005 dan menghasilkan “Aichi Statement”. Forum ke-dua diadakan di Kota Yogyakarta pada tanggal 11-12 Desember 2006 dan forum ke-tiga di Singapore pada tanggal 17-18 Maret 2008.
Forum ini bertujuan untuk menyamakan langkah ke depan dalam mempromosikan EST di kota-kota di Asia. Hal ini ditandai dengan kebutuhan untuk mengembang dan mengadopsi kebijakan terkait dengan strategi dan program-program yang merupakan elemen-elemen kunci dari EST sebagai usaha untuk memperbaiki kualitas udara di kota-kota besar di dunia. EST yang sekarang telah menjadi salah satu kebijakan di dalam menurunkan tingkat pencemaran di perkotaan telah menjadi tuntutan untuk dilaksanakan.
Aplikasi dari EST salah satunya adalah lahirnya “Deklarasi Kyoto” pada tanggal 23-24 April 2007 di Kyota, Jepang dan ditandatangani oleh para Walikota dari 22 kota di Asia, dimana Indonesia diwakili oleWalikota Yogyakarta, Surabaya dan Semarang. Hal penting dalam isi deklarasi antara lain :
»         Resolusi untuk bersama-sama mempromosikan transportasi berwawasan lingkungan (Environmental Sustainable Transport/EST) dan menyamakan visi diantara kota-kota di Asia
»         Komitmen untuk melaksanakan elemen kunci transportasi berwawasan lingkungan (EST) baik dari sisi kebijakan, strategi dan program secara terpadu
»         Dedikasi untuk secara spesifik mengurangi dampak dari bertambahnya populasi kendaraan di kota-kota di Asia
Garis besar rencana indikator penilaian berdasarkan perencanaan makro tersebut di atas memuat tiga kriteria penting yang ingin dicapai dalam evaluasi kualitas udara, yaitu Komitmen, Kapasitas dan Karakteristik Kota. Dari rencana sampai Tahun 2010 ini diharapkan setiap pemerintah kota peserta akan memahami dengan jelas arahan penilaian evaluasi udara perkotaan.
Tahun 2007 dan 2008 kinerja komitmen dan kapasitas baru dapat dilakukan sebatas identifikasi dan pengumpulan hasil masing-masing kriteria yang ditemukan di kota. Sementara untuk kinerja karakteristik kota dilakukan secara langsung dan mendapatkan data primer di lapangan. Karakteristik kota yang diukur meliputi indikator pengukuran kualitas udara jalan raya, kinerja lalu lintas, uji emisi kendaraan di jalan raya, dan pemantauan kualitas bahan bakar.

B.     PENGUKURAN KUALITAS UDARA JALAN RAYA
Kegiatan ini dilakukan dalam rangka memantau konsentarasi parameter pencemar yang bersumber dari kendaraan di jalan raya. Pencemaran udara sangat dipengaruhi oleh kondisi meteorologi, sehingga pemantauan pencemar udara selalu disertai dengan pemantauan parameter meteorologi seperti kecepatan dan arah angin, kelembaban udara, temperatur dan radiasi matahari. Penetapan jumlah titik pengamatan sangat ditentukan oleh faktor jumlah penduduk, tingkat pencemaran dan keragamannya serta berdasarkan hasil stimulasi.

C.     KINERJA LALU LINTAS
Kinerja lalu lintas perkotaan yang diukur meliputi kepadatan lalulintas dan kecepatan operasi lalu lintas. Ini berkaitan erat dengan pertambahan jumlah kendaraan dan pertambahan jumlah panjang jalan. Di kota besar kepadatan lalu lintas mencapai kondisi puncak pada waktu jam sibuk terutama pagi dan sore yang akan mengakibatkan konsentrasi emisi gas buang kendaraan bermotor meningkat dan akan menurun pada saat kepadatan lalu lintas menurun.
Data kecepatan operasi diperoleh dari dinas instansi terkait (data sekunder dari Dinas Perhubungan) dan harus ditinjau ulang ke lapangan dengan metode pelaksanaan pengukuran sesuai dengan metode yang ada.

D.    UJI EMISI KENDARAAN DI JALAN RAYA
Uji emisi kendaraan bermotor dilakukan terhadap kendaraan pribadi saja. Hasil uji emisi diperlukan untuk melihat tingkat kesadaran masyarakat dalam memelihara dan merawat kendaraan mereka melalui dorongan dari program pemerintah kotanya. Hasil uji emisi dikategorikan menurut kendaraan berbahan bakar solar dan kendaraan berbahan bakar bensin. Nilai yang diperoleh akan dibandingkan dengan nilai pada lampiran Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2006 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama.

E.     PEMANTAUAN KUALITAS BAHAN BAKAR
Kualitas BBM sangat berpengaruh terhadap emisi yang dihasilkan, semakin baik kualitas BBM tersebut maka semakin sedikit pula emisi berbahaya yang dikeluarkan dari proses pembakarannya. Jadi pemantauan kualitas BBM dalam evaluasi kualitas udara perkotaan merupakan salah satu upaya untuk menurunkan pencemaran udara di kota. Hasil pemantauan kualitas bahan bakar yang didapat selanjutnya dianalisis di laboratorium. Nilai akhir yang didapatkan dari setiap parameter yang dipantau akan dibandingkan dengan nilai spesifikasi bahan bakar yang ada dalam keputusan Dirjen Migas No. 3674 K/24/DJM/2006.









BAB III
PENUTUP

A.   EVALUASI PELAKSANAAN
Hasil pelaksanaan kegiatan Evaluasi Kualitas Udara Perkotaan tahun 2008 di 14 kota metropolitan dan 2 kota besar menunjukkan pada kita semua bahwa untuk mencapai kualitas udara yang baik, komitmen dan kapasitas saja tidaklah cukup tetapi harus dibuktikan melalui kinerja yang terukur. Masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan yang membutuhkan perbaikan, baik dari sistem pemantau maupun kesiapan kota sebagai peserta, antara lain :
1.     Sulitnya mendapatkan data non fisik di tiap Kota
2.     Rendahnya tingkat kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi aktif
3.     Kurangnya transparansinya antar pemangku kepentingan
4.     Sistem pengarsipan daerah yang tidak baku
5.     Sulitnya mencari lokasi/jalan dengan karakteristik yang sama
6.     Pembekalan materi untuk surveyor membutuhkan waktu untuk mengerti secara total
7.     Sulitnya kontrol mutu oleh ketua tim pemantau
8.     Minimnya informasi tentang udara kota
9.     Keterbatasan peralatan pemantauan kualitas udara
10.            Kesiapan SDM di daerah untuk melakukan pemantauan hanya sesaat
KLH menemukan beberapa point terhadap perbaikan-perbaikan pelaksanaan evaluasi kualitas udara untuk masa yang akan datang, sebagai berikut :
1.     Dalam melengkapi informasi tentang kota, maka sebaiknya KLH melakukan kajian komprehensif tentang profil, kondisi, rencana, transportasi sebagai baseline transportasi kota metro, besar, maupun sedang bagi kota peserta evaluasi kualitas udara.
2.     Di beberapa kota besar sungai menjadi peluang, namun belum dimanfaatkan sebagai sarana transportasi. Sistem transportasi berkelanjutan, seyogyanya menyentuh angkutan sungai (banyak kota metro dan besar di Indonesia yang memiliki sungai di tengah kotanya).

Tidak ada komentar: